AGAMA
ISLAM TENTANG AL- HADIST
(AS-SUNNAH)
Di Susun Oleh :
1.
Arif
Nur Alim
2.
Agung
Wahono
3.
Fitrian Timor
4.
Febriansah
5.
Hendarto
6. Aziz Waluyan
LP3I
BUSINESS COLLEGE NGAWI
JURUSAN COMPUTERIZED ACCOUNTING
TAHUN
AJARAN 2016/2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang "AL-HADIST (AS-SUNNAH)" ini. Sholawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad
SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama
Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam
semesta.
Penulis
sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
pendidikan agama dengan judul "AL-HADIST (AS-SUNNAH)". Disamping itu,
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah
makalah ini.
Demikian
yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan jangan lupa
ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa diperbaiki.
Ngawi, Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ……………………………………………..............................….. i
KATA PENGANTAR …………………………………….............................………… ii
DAFTAR ISI ……………………………………...........................…………………… iii
KATA PENGANTAR …………………………………….............................………… ii
DAFTAR ISI ……………………………………...........................…………………… iii
BAB I
PENDAHULUAN …………………………...............................………………. 1
- A. Latar Belakang ……………………..............................……...………………..
1
- B. Rumusan Masalah
……………………………………....................................... 1
- C. Tujuan Penulisan
………………………………………..................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN ………………………................................………….……..... 2
- A. Pengertian Sunnah ….................……………...........................................…….
2
- B. Macam-Macam
Sunnah.........……………..............................................……… 3
- C. Periwayatan Sunnah …………..................................................……....….……
4
- D. Kebenaran khabar dari segi Ibarat yang
Digunakan Pembawa berita dalam
menyampaikan berita …….................................................................……............. 5 - E. Fungsi Sunnah …................................…................................................………
6
- F. Penjelasaan Sunnah terhadap Hukum dalam
Al-Qur’an.…....................................6
·
G. Sunnah
Berdaya Hukum...............................................................................................
7
·
H. Kedudukan
Sunnah sebagai Sumber Hukum................................................................. 8
BAB III
PENUTUP ………………………...............................……….……………… 10
- A. Kesimpulan …………...........……………….........................................……..
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sunnah sering disamakan dengan hadits, artinya semua
perkataan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
menyetujui perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, misalnya Kholid bin
Walid memakan daging biawak, Rasulullah SAW membiarkannya maka hal itu dikesani
bahwa Nabi tidak mengharamkannya.
Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Dalam kajian ushul fiqh, as-Sunnah merupakan metode untuk menjelaskan
al-Qur’an, oleh karena itu fungsi as-Sunnah adalah penjelas, penafsir, menguat,
penambah, dan pengkhusus berbagai hukum yang terdapat dalam al-Qur’an yang
masih global atau masih multitafsir dan adapula yang masih mubham.
B. Rumusaan
Masalah
1.
Apa pengertian Sunnah?
2.
Apa macam-macam Sunnah?
3.
Bagaimana periwayatan Sunnah?
4.
Apa fungsi dari Sunnah?
5.
Bagaimana kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum?
C. Tujuan
Masalah
1.
Untuk mengetahui pengertiaan Sunnah
2.
Untuk mengetahui macam-macam Sunnah
3.
Untuk mengetahui periwayataan Sunnah
4.
Untuk mengetahui fungsi Sunnah
5.
Untuk mengetahui kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
sunnah
1. Secara
etimologi
Makna kata sunnah adalah perbuatan yang semula
belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan
yang terpuji maupun yang tercela.
Sabda
rasulullah SAW :
مَنْ سَنَّ فِى الاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرَهُ وَ اَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ .
Artinya:
“Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam Islam, maka ia
menerima pahalannya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya”.
(H.R. Muslim )
2. Secara
terminologi
Pengertian sunnah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu
;
a. Ilmu
hadits
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
b. Ilmu
ushul fiqhi
Segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa
perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
c. Ilmu
fiqhi
Salah satu hukum takhlifi, yang berarti suatu
perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa
apabila ditinggalkan.
Para ulama
islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an dan bahasa Arab yang mereka gunakan
dalam artian khusu yaitu: ”cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama”.
Kata Sunnah
sering disebut dengan kata ”kitab”. Di kala kata sunnah dirangkaikan dengan
kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-cara beramal dalam agama berdasarkan
apa yang disarankan dari Nabi Muhammad SAW”; atau “suatu amaliah agama yang telah
dikenal oleh semua orang”. Kata Sunnah dalam artian ini adalah “bid’ah” yaitu
amaliah yang diadakan dalam urusan agama yang belum pernah dilakukan oleh Nabi.
Sunnah dalam
istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat
Nabi”. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi
suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak
pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak
berdosa orang yang tidak melakukannya.
Perbedaan
ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti arti pada Sunnah sebagaimana
disebutkan diatas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya. Ulama
ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh.
Maksutnya adalah “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan ulama
fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu dari hukum syara’.
Kata
“Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata “Hadits” ini sering
digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata “Sunnah” menurut
pengertian yang digunakan kalangan ulama ushul.
Dikalangan
ulama ada yang membedakan Sunnah dan Hadits, terutama karena dari segi
etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak mengarah
kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah kepada
perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam
pengamalan agama.
B. Macam-macam
sunnah
1. Pembagian
sunnah dari segi bentuknya:
a. Sunnah
Qauliyyah
Adalah
ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar oleh sahabat beliau dan
disampaikannya kepada orang lain.
Contoh
sunnah
qauliyyah:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ
Artinya:
Dari Annas ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:”Belum beriman salah seorang dari
kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
b. Sunnah
Fi’liyah
Adalah semua
perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui atau
diperhatikan oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan
ucapannya.
Contoh
sunnah
fi’liyah:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيْمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِيي
قَالَ: فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو
ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ تُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا
بِالْقِرَاءَةِ
Artinya:
Dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia berkata: “Saya melihat Rasullah SAW
pada hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya:
“Maka beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jama’ah menghadap kiblat dan
berdoa, kemudian beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau shalat
bersama kami dua rekaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rekaat itu”.
Sunnah
fi’liyyah pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1) Gerak
gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum.
Misalnya;
tata cara shalat, puasa, haji, transaksi dagang,tata cara makan dll.
Perbuatan
ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk dari beliau sendiri, atau karena
adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari Al-Qur’an maupun dari sifat perbuatan
Rasulullah SAW.
2) Perbuatan
yang khusus berlaku bagi Rasulullah SAW.
Misalnya;
beristri lebih dari 4 orang, wajib melaksanakan shalat tahajjud, berkurban,
shalat witir, dll. Semua perbuatan itu bagi umatnya tidak wajib.
3) Perbuatan
dan tingkah laku Nabi berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti: shalat,
puasa, jual beli, utang piutang, dll.
c. Sunnah
Taqririyah
Adalah
perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau
sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh
Nabi, namun Nabi diam, maka hal ini merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan
diamnya Nabi itu dapat dibedakan pada dua bentuk:
1) Nabi
mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal
ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa si pelaku berketerusan melakukan
perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini
tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Diamnyan Nabi
dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
2) Nabi
belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibahah atau
meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang,
tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi
berbuat kesalahan; sedangkan Nabi bersifat ma’shum (terhindar dari
kesalahan).
Contoh
sunnah taririyyah:
عَنْ
خَالِدِ بْنِ الْوَلِيْدِ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيْلَ لَهُ إِنَّهُ
ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لاَ وَلَكِنَّهُ
لاَ يَكُنونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ
اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Artinya:
Dari Khalid bin Walid ra katanya: “Kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb
(sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang
berkata kepada beliau: “Itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka
Khalid berkata: “Apakah haram memakannya?” Beliau menjawab: “Tidak,tetapi
binatang jenis itu tidak biasa ditemukan didaerah saya, maka saya tidak suka
dan menghindarinya”. Maka Khalid memakannya, sedang Rasulullah memandanginya.
C. Periwayatan
Sunnah
Ketiga macam
Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah)
disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang
mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga
sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya
sekitar abad ketiga Hijriah.
Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada
orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas oran yang membawa khabar
itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan
setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membawa khabar itu kepada tiga
tingkatan:
1. Khabar mutawatir,
yaitu khabar yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang banyak kepada orang
banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang
tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2. Khabar masyhur, yaitu
khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat kemudian disampaikan
kepada orang banyak yang untuk selanjutnya disampaikan pula kepada orang banyak
yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3. Khabar ahad, yaitu
khabar yang disampaikan dan diterima dari nabi secara perorangan dan
dilanjutkan periwayatannya samapai kepada perawi akhir secara perorangan pula.
Perbedaan
yang jelas diantara ketiganya adalah:
1. Khabar mutawatir diterima
dan disampaiakan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir.
2. Khabar masyhur yaitu
khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perseorangan,
kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawatir.
3. Khabar ahad diterima
dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara perorangan.
Tingkat
kebenarannya yang paling tinggi adalah khabar mutawatir, khabar masyhur, lalu
barulah khabarahad.
D. Kebenaran
khabar dari segi Ibarat yang Digunakan Pembawa berita dalam menyampaikan berita
Sebagaimana
telah diuraikan bahwa kebenaran suatu Sunnah Nabi tergantung pada kebenaran
berita yang disampaikan pembawa berita tentang Sunnah itu. Tingkat kebenaran
berita dapat diketahui dari kuantitas pembawa berita, juga dari ibarat yang
digunakan pembawa berita itu.
Dalam hal ini terdapat beberapa tingkat kebenaran:
1. Tingkat
yang terkuat, bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar bahwa Nabi
bersabda” atau “Nabi memeberitakan kepada saya” atau, “Nabi berbicara dengan
saya”.
Bentuk
penyampaian seperti ini menunjukkan suatu seperti tentang adanya ucapan nabi
dan tidak ada kemungkinan lain.
2. Penyampaian
berita berkata, “Rasul Allah berkata.” Bentuk seperti ini, dan yang biasa
ditemui dalam periwayatan, menurut zhahirnya memang berbentuk penukilan berita,
tetapi tidak menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa ia menerima sendiri
secara langsung ucapan Nabi itu.
3. Bila
pembawa berita mengatakan, “Nabi menyuruh kami berbuat ini”, atau “Nabi melaran
kami mengerjakan itu”. Kelemahan periwayatan seperti ini karena ditemukan ada
dua kemungkinan dalam ucapannya itu. Pertama dalam hal pendengarnya terhadap
ucapan Nabi. Kedua tentang adanya “suruhan”, karena seorang pendengar kadang
menganggap sesuatu seperti suruhan tetapi sebenernya bukan suruhan.
4. Pembawa
berita berkata, “Adalah nabi Muhammad SAW menyuruh begini atau melarang
begitu”. Pemberitaan dalam bentuk ini lebih lemah dibandingkan dengan tiga
bentuk sebelumnya karena adanya kemungkinan-kemungkinan sebagaimana terdapat
pada tingkat sebelumnya, juga ada kemungkinan yang menyuruh atau melarang bukan
Nabi secara langsung.
5. Si
pembawa berita berkata bahwa ia melakukansesuatu kemudian ia meng-hubungkan
kepada suatu masa dengan Nabi dan tidak ada reaksi dari Nabi tentang itu. Hal
tersebut menjadi dalil kebolehan berbuat sesuatu itu.
E. Fungsi
Sunnah
Dalam uraian
tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam
al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah
yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.
Dengan
demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka
Sunnah disebut sebagaibayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam
hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan
dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut
fungsi ta’kiddan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah
hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al-Qur’an.
Umpamanya
firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:
وَ أَقيموا الصلاة واتوا الز كاة ....
Dan
diriknlah shalat dan tunaikanlah zakat....
2. Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:
a. Menjelaskan
arti yang masih samar dalam al-Qur’an
b. Merinci
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar
c. Membatasi
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum
d. Memperluas
maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an
3. Menetapkan
sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam
al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri
hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini
disebut “itsbat” atau “insya”.
Sebenarnya
bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu
pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau
memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas.
F. Penjelasaan
Sunnah terhadap Hukum dalam Al-Qur’an.
Pada
dasarnya Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur’an dalam
segala bentuknya. Allah SWT menetapkan hukum dalam al-Qur’an adalah untuk
diamalkan, karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang digariskan.
Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana
menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian
penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam
al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam al-Qur’an
memiliki beberapa bentuk:
1. Nabi
memberi penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh umat sesuai
dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Cara seperti ini sesuai dengan
pesan Allah. Karena umat Islam yang menerima penjelasan waktu itu masih sederhana
cara berfikirnya, maka penjelasan Nabi terlihat begitu sederhana sehingga mudah
dipahami dan cepat dilaksanakan oleh umat.
2. Nabi
memberikan penjelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara nyata
terdapat disekitar lingkungan kehidupan waktu itu.
Dengan
demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah diterima dan dijalankan
oleh umat. Penjelasan yang melampaui dari hal itu atau yang tidak ada pada
waktu itu tentu tidak akan dapat dipahami oleh umat.
G. Sunnah
Berdaya Hukum
Dari satu
segi Sunnah adalah segala apa yang dikatakan Nabi, diperbuat Nabi atau yang
diakui Nabi. Di sisi lain umat dituntut untuk mengikuti semua Sunnah Nabi itu.
Di antara Sunnah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan ada yang
dilarang umat melakukannya. Dalam hal ini ulama mengelompokkan Sunnah menjadi
dua kelompok:
1. Sunnah
bukan tasyri atau Sunnah yang tidak berdaya hukum, yaitu
Sunnah yang tidak harus diikuti dan oleh karenanya tidak mengikat.
Sunnah yang
tidak berdaya hukum itu ada tiga macam:
a. Ucapan
dan perbuatan Nabi yang timbul dari hajat insani dalam kehidupan keseharian
Nabi dalam pergaulan, seperti: makan, tidur, kunjungan, sopan dalam bertamu ,
cara berpakaian dan lain ucapan serta perbuatan Nabi sebagai seorang manusia
biasa.
b. Ucapan
dan perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan dalam
pergaulan, seperti: urusan pertanian dan kesehatan badan, cara berjual beli dan
memelihara ternak.
c. Ucapan
dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan
lingkungan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisaan dan
penentuan tempat dalam peperangan.
Semua yang
dinukil dari Nabi dalam tiga bentuk tersebut tidak mempunyai daya hukum
mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan. Umat dapat saja mengikuti apa
yang dilakukan Nabi itu kerena ia adalah Sunnah, namun sifatnya tidak mengikat.
2. Sunnah tasyri atau
Sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti. Sunnah dalam bentuk ni
ada tiga macam:
a. Ucapan
dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah dan
penjelasan terhadap Al-Qur’an; seperti menjelaskan apa-apa yang dalam Al-Qur’an
masih bersifat belum jelas, membatasi yang umum, memberi qayid yang
masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadat, halal dan haram, ‘aqidah dan
akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul
termasuk Sunnah berdaya hukum.
Tasyri’
dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai hari kiamat dan dalam
pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan akan adanya
sunnah itu.
b. Ucapan
dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai imam dan
pemimpin umat Islam, seperti mengirim pasukan untuk jihad, membagi harta
rampasan, menggunakan bait al-maal, mengikat perjanjian dan
tindakan lain dalam sifatnya sebagai pemimpin.
Sunnah tasyri’ dalam
bentuk ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang dan dalam pelaksanaannya
tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau pemimpin.
c. Ucapan
dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim atau qadhi yang
menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum dalam bentuk ini,
seperti halnya dalam bentuk yang sebelumnya, tidak bersifat umum dan dapat
dilakukan oleh perorangan dengan penunjukan dari imam atau penguasa.
Sunnah berdaya hukum sebagaimana disebutkan di atas
secara garis besarnya mengandung beberapa bidang sebagai berikut:
a) Aqidah
Sunnah tidak
dapat menetapkan dasar aqidah karena aqidah itu menimbulkan kepercayaan,
sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang pasti. Tidak ada yang mungkin
menghasilkan keyakinan yangpasti itu kecuali yang pasti pula.
Sunnah atau
qath’i ialah sunnah yang baik dari segi lafadznya, atau wurudnya maupun dari
segi dilalahnya adalah qath’i atau pasti.
b) Akhlaq
Dalam sunnah
atau hadits banyak sekali disampaikan Nabi hikmah-hikmah, adab sopan santun
dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun dalam bentuk
pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji; atau celaan terhadap perbuatan-perbuatan
buruk yang dilakukan umat. Sunnah tersebut menuntut munculnya manusia sempurna
yang juga dikehendaki oleh rasa yang dan pandangan yang wajar.
c) Hukum-hukum
Amaliyah
Hal ini
berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadat, pengaturan mu’amalat antar
manusia; memisahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban; menyelesaikan
persengketaan diantara umat secara adil. Hukum-hukum yang diperoleh dari sunnah
(dalam bentuk ini) disebut Fiqh Sunnah;sedangkan haditsnya sendiri
disebut Hadits Ahkam.hadits-hadits dalam bentuk inilah yang
dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah Al-Qur’an.
H. Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum
Sunnah
berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, Sunnah kadang-kadang memperluas hukum
dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah
dalam Al-Qur’an.
Kedudukan
sunnah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu:
1) Sunnah
sebagai Ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Hukum Islam
disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak heran kalau
banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa,
larangan musyrik, dan lain-lain.
2) Sunnah
sebagai Penjelas Al-Qur’an
Sunnah
adalah penjelas (bayanu tasyri’) sesuai dengan firman Allah surat An-Nahl ayat
44:
وَ أَنْزَلَ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ للنَّاسِ
مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.
Artinya:
“Telah
Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang
diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.(Q.S. An-Nahl:44)
Penjelasan sunah terhadap Al-Qur’an dapat
dikategorikan menjadi 3 bagian:
a. Penjelasan
terhadap hal yang global.
Seperti
diperintahkannya shalat dalam Al-Qur’an tidak diiringi penjelasan mengenai
rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal itu dijelaskan
oleh sunah sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى.
Artinya:
“Shalatlah
kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”
b. Penguat
secara mutlaq. Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada
dalam Al-Qur’an.
c. Sunnah
sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur’an yang masih umum.
3) Sebagai
Musyar’i (pembuat syari’at)
Sunnah tidak
diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam Al-Qur’an,
misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat:
a. Sunnah
itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur’an.
b. Sunnah
tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Qur’an, tetapi hanya memuat
hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur’an.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Sunnah adalah
perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain,
baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela. Sunnah dibagi menjadi 3
bagian:
1. Sunnah Qauliyah
2. Sunnah Fi’liyyah
3. Sunnah Taqririyyah
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah,
fi’liyah dan taqririyah) disampaikan dan disebarluaskan
oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya dari Nabi secara
beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang
mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad ketiga Hijriah.
Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu: berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai
kepada orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas oran yang membawa
khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi
kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
Fungsi sunnah adalah Menguatkan dan menegaskan
hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an.
Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai
penguat Al-Qur’an, sebagai penjelas Al-Qur’an, dan sebagai musyar’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar